Saya akan memberi sedikit pengantar, sebelum menuliskan kembali tulisan dari alm. Drs. H. Usman Awing. Beliau merupakan kakek saya. Ayah dari ayah saya, yg begitu suka akan sastra. Rasa-rasanya kesukaan saya akan dunia sastra diturunkan oleh beliau. Hahaha. Ya.. meskipun beliau dulu adalah penulis aktif di beberapa surat kabar dan punya beberapa buku sedangkan saya hanya penulis blog. Sayangnya, saya tidak punya jejak tulisan beliau selain tentang sungai je'neberang ini.
Saya bersama kakek (alm. Drs. Usman Awing) |
Tulisan beliau berikut ini membahas tentang Sungai Jeneberang dengan beberapa kisah yang berhubungan dengan sungai tersebut. Disisipi kalimat-kaimat puisi yabg syahdu pada beberapa bagiannya.
Karena cerita berikut akan saya buat perbagian-bagian yang terpisah pada setiap satu postingan. Yuks, silahkan dibaca ya..
Je'neberang Ranrang Tattappuna Gowa
(Je'neberang penunjang utama kehidupan masyarakat Gowa, Ujung Pandang, dan Takalar) - oleh Drs. H. Usman Awing (Guru SMU Negeri Bontonompo, Juni 1997)
Pendahuluan
Banyak yang sungguh dapat dibicarakan tentang sungai Jeneberang. Tetapi yang berpokok pada pembicaraan ini adalah penunjang utama dalam kehidupan masyarakat Gowa, Ujung Pandang, Takalar.
Sungguh kata ini bukan semata isapan jempol, tetapi adalah kenyataan kecil yang patut kita akui. Untuk itu marilah kita mencoba melihat apa, mengapa, dan bagaimana sehingga penulis mengutarakan demikian.
Pengertian
Jeneberang (Makassar)
air pasang, air yang dahsyat.
Ranrang Tattappu
Tali tambang yang pantang putus.
Demikian sungai Jeneberang dijuluki oleh orangtua kita dahulu kala. Jauh sebelum kerajaan Gowa beribukota dan berpusat di Sungguminasa.
Sungai Jeneberang pada mulanya mengalir ke daerah Takalar melalui Polombangkeng Utara, bagian barat menuju ke Palleko (Ta'bing Siwalia) dan terus ke pantai Takalar. Bekas sungai Jeneberang masih dijumpai telaga dan rawa-rawa yang dalam disepanjang alirannya yang melalui Kampung Mata' (Liku Lamberek), menuju ke Mattoanging kemudian ke pinggiran Pannyangkalan dan terus ke Palleko daerah Takalar bagian utara. Rawa-rawa disepanjang bekas aliran sungai ini sangat subur bagi pertanian. Masyarakat sekitarnya menggarap tanah negara ini, bahkan banyak pula yang telah menjadi tanah milik penduduk di sekitarnya.
Jeneberang Sebelum ke Gowa - Sungguminasa
Sungai Jeneberang sebelum ke Gowa atau sebelum melalui Sungguminasa,telah mengalir dengan aman menggenangi lembah dan rawa-rawa disepanjang daerah alirannya yang menuju ke Daerah Tingkat II Takalar. Masyarakat dan punggawa atau penguasa setempat, semuanya merasa puas dan tentram menikmati kemakmuran yang ditimbulkan oleh air sungai Jeneberang yang memberikan sumber penghidupan, utamanya bidang pertanian.
Salah satu kampung kecil yag terletak di tepi sungai itu disebut Desa Lassang (Polombangkeng Utara). Yakni, daerah yang merupakan bagian Tingkat II Takalar belahan utara yang berbatasan Derah Tingkat II Gowa.
Konon di kampung itulah hidup seorang Boto (Panrita) yakni orang cendekia yang lazim disebut Boto Lassang. Boto Lassang inilah yang kemudian menjalin persahabatan dengan Boto Lempangang di Gowa yang berada pada Kerajaan di Gowa. Boto Lassang sangat terkenal dengan segala kearibannya,kesaktian dan kebijaksanaannya. Ia sangat dicintai oleh rakyat Lassang dan Polombangkeng. Boto Lassang mengajari masyarakat menyembah Yang Maha Kuasa, melaksanakan ibadah, dan menjauhi larangan Allah SWT. Boto Lassang mengajarkan dan menganjurkan pada masyarakat banyak supaya memanfaatkan rahmat Allah dengan air sungai Jenebrang yang dapat menyuburkan tanaman mereka. Kemakmuran rakyat Lassang terdengar kemana-mana,bahkan sampai ke beberapa kerajaan di sekitar daerah itu.
Boto Lempangang sering berkunjung ke Lassang menemui sahabatnya sesama Boto. Kemakmuran daerah Lassang/Polombangkeng mulai didengar di mana-mana sehinga sampai ke Gowa. Sayang sekali hal ini tidak berlangsung lama disebabkan kedatangan kemarau panjang yang berakibat sangat kekurangan air dan makanan. Kiranya hal inilah yang menyebabkan perubahan keadaan perekonomian dan penghidupan masyarakat.
Kemarau Panjang Menimpa Daerah Pesisir Selatan
Kemarau panjang menimpa seluruh daerah pesisir selatan Makassar, termasuk kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa pada masa itu sangat terkenal kejayaannya karena ditopang oleh pertaniannya yang sangat maju, disamping kekuatan armada lautnya, dan laskar keajaan yang gagah perkasa. Kehidupan masyarakatnya sangat sejahtera demikian juga kehidupan di istana kerajaan Gowa sebagai cerminan kejayaan rakyatnya sangat nampak tergambar.
Namun ketika kemarau panjang melanda masyarakat Kerajaan Gowa yang menyebabkan kepanasan dimana-mana, sehingga tanah berbongkah-bongkah, rumput kering menjarum, semuanya menjadi kerontang dan kering kisut. Binatang ternak banyak yang mati karena kehausan, dan kelaparan disebabkan sulitnya merumput.
Masyarakat Gowa merasa risau dan bersusah hati. Namun tak seorangpun yang berani mengadukan pada Raja (Somba ri Gowa). Para Punggawa/Bate salapang berpikir, lalu mereka sepakat berusaha mendekati inang-inang agar inanglah yang berusaha membisikkan pada tuan putri. Mungkin melalui tuan putri sehingga kerisauan ini dapat sampai ke telinga Raja Gowa.
Bate Salapang sangat merasa malu mengadukan langsung pada Raja Gowa, kalau-kalau hal ini dianggap masalah perut saja. Jangan sampai Raja menganggap bahwa Bate Salapang hanya berpikir masalah makan semata. Maka sepakatlah agar hal ini tak usah dengan resmi Bate Salapang mengadukan pada Raja, mengingat Bate Salapang adalah wadah yang sangat bergengsi di samping Raja dan Kerajaan Gowa. Jadi, masalah yang agak ringan tak perlu melalui wadah Bate Salapang.
Bate Salapang hanya berharap, mudah-mudahan Tuan Putri dapat mempengaruhi Ayahandanya sehingga memperhatikan betapa bencana alam ini akan menyengsarakan masyarakat Gowa. Mereka berdoa bersama semoga dapat dipikirkan bagaimana menanggulangi, dan mencari jalan sehingga bencana kekeringan ini dapat diatasi. Mudah-mudahan hasil panen dapat diperoleh dengan jalan pembuatan irigasi yang kemungkinannya dapat diambil dari air sungai jeneberang.
Demikian Punggawa dan Bate-Bate berhasil membujuk inang sehingga para inang membisikkan Tuan Putri, anak Sombaya ri Gowa "Sitti Daeng Nisanga". Berkat kepandaian inang membujuk merayu dan bijak bertutur menyusun kata sehingga Tuan putri sangat tersentuh hatinyadan bersimpatik mendengar keluhan rakyat.
Disuatu malam, Putri Raja Gowa berdendang menyanyi sendu di kamarnya yang sangat dekat dengan kamar peraduan Raja Gowa. Lantunnya demikian :
Tunisombaki bedeng ri Gowa
(Apalah arti kita dipertuan)
Tunicinde ri Lakiung
(Dipertuan yang muliakan di Lakiung)
Kiero' Je'ne
(Sedang mau mandi saja,)
Nataeba lanije'ne
(Air tak ada untuk dimandi)
Batara passunggu tongki
(Wahai Tuhan, bahagiakanlah kami)
Lebba tommaki' salasa
(Kami sudah cukup merasakan derita)
Jokjokkang tongki'
(Kini tunjukkan padaku)
Rappo ganggaya ri Gowa
(Manakah hidup bahagia di Gowa)
Nyanyian ini didendangkan oleh Tuan Putri Sitti Daeng Nisanga sampai Raja Gowa secara diam-diam mendengar dan memperhatikan apa gerangan yang dilakukan oleh Tuan Putri. Dilain pihak yakni Sitti Daeng Nisanga pun mengetahui bahwa Sombaya (Raja Gowa) yaitu Ayahandanya memperhatikan nyanyiannya itu. Rupanya Sitti Daeng Nisanga dibisiki oleh salah seorang inang yang sempat memperhatikan tingkah laku Tunisombaya ri Gowa.
Sitti Daeng Nisanga kemudian menyambung nyanyiannya dengan mnyanyikan lagu "Bulan Sapparak"
Bulang Sapparak bulang mabajik
I bajik nikunjungi
Ma'rannu-rannu, ma'jeknek'jeknek
Ribawana binanga Jeneberang
Ma'rannu-rannu, ma'jeknek'jeknek
Ribawana binangaya
Ribawana
Binanga Jenberanga
Jeneberang monjo cinik
Ranrang tattappuna Gowa
Nappajekneki, nappajekneki
Tumangeya rannu-rannu sayang..
Ma'rannu-rannu, ma'jeknek'jeknek
Ribawa, ribawana binanga
Ribawana Binanga
Jeneberang..
Artinya:
Bulan Safar Bulan yang mulia
Bulan terbaik kita saling mengunjungi
Bermandi-mandi, bersuka ria
Di tepian muaranya Jeneberang
Bersuka ria bermandi-mandi
Ketepian muaranya sungai
Kemuaranya sungai.muaranya sungai Jeneberang..
Coba pandangi muaranya Jeneberang
Laksana tali tambang yang tak kunjung putus
Tali tambang, pengharapan orang Gowa
Tempat bermandi, bersuka ria bagi pengunjungnya.
Mari berdendang bersuka ria
Bermandi-mandi sampai ke tepiab
Di sanalah dimuaranya sungai
Di muaranya sungai Jeneberang
***
Nyanyian sang putri ini sangat diperhatikan oleh sang Raja sehingga matanya tiada terpicing memikirkan apa gerangan yang menimpa dan apa yang mendamba di hati Tuan Putri kesayangannya. Gelisah sungguh Raja Gowa memikirkan hal ini, sehingga kadang-kadang bangun lalu berbaring kembali.
Akhirnya terlintas di hati Raja Gowa ingin merundingkannya dengan Pernaisuri. Kemudian, Somba pun menemui Permaisuri lalu membisikkan keinginannya untuk merundingkan sesuatu yang menyangkut putrinya. Sangat gembira Sang permaisuri mendengarnya, lalu menjawab "kalau tentang Putri Kita, alangkah baiknya bila kita lebih dahulu meminta infromasi dari inang." Permaisuri yakin bahwa inanglah yang banyak mengetahui keadaan sang Putri.
Mendengar keterangan Sang Permaisuri, Rajapun memerintahkan agar inang dipanggil bersembah pada Raja. Sambil menunggu inang, Sombaya mengajak Istrinya untuk bersama-sama mencoba menyimak makna kelong (syair) yang dinyanyikan oleh putrinya. Sombaya menyatakan keheranannya karena baru sekali ini Sitti Daeng Nisanga berdendang seperti itu. Mudah-mudahan makna kelong itu dapat memberi penafsiran yang berhubungan dengan keterangn sang inang nanti. Itulah yang paling baik kita lakukan sambil menunggu kedatangan sang inang.
Pesuruh yang diperintahkan memanggil inang telah menyampaikan perintah panggilan itu. Alangkah terkejut dan ketakutan sang inang menerima perintah berhadap sembah panggilan segera dipenuhi dan inangpun segera bersujud sembah dan berusaha menuturkan sebatas kemampuan dan pengetahuannya. Inang lalu menggambarkan keluh kesah Tuan Putri yang selalu mencela air mandinya yang disediakan oleh sang inang. Menurur inang, Tuan Putri sepertinya ingin mandi di telaga atau di muara. Kadang-kadang Tuan putri menyebut-nyebut "Jenebrang" yang sesungguhnya bagi inang sangatlah samar, bahkan tak ada yang jelas, namun tak berani mengusik Tuan Putri.
Demikian sembah sujud sang inang, lalu memohon semoga Raja mengundang Boto Lempangang. Mungkin Boto Lempangang dapat mengetahui apa makna nyanyian Sitti Daeng Nisanga, Putrinya. Dan bagaimana sesungguhnya keadaan Tuan Putri tersebut?
Karena inang bertutur demikian khidmat dan penuh hormat maka Somba ri Gowa agak tertarik dengan segala yang diutarakan inang. Somba teringat dan terkesan sekali atas permohonan inang mengundang Boto Lempangang, disamping sebagian hal yang wajar mencari dan meminta pertimbangan serta pandangan bila ada yang menjadi kemelut di Istana. Somba juga sangat rindu bertemu Boto Lempangang.
Sombaya juga berpikir bahwa alangkah ceroboh, bila terlalu cepat menyerahkan persoalannya pada Bate Salapang atau pada Tumailalang. Sebab persoalan Tuan Putri masih soal istana yang belum menyangkut masyarakat Gowa, namun tidak menutup kemungkinan bahwa persoalan Tuan Putri akan menyangkut masalah masyarakat. Mungkin saja Tuan Putri hanya sebagai penyambung lidah rakyat Gowa
--bersambung--
Air mata penuh haru...satu kata...dari almarhum ayahanda...iqra.....baca...baca...baca. kt itu....terpatri dlm hati ....dgn membaca tulisan ini ...msh byk...karya beliau....atl....satu pusara menunggu. Ziarah ..
BalasHapusTulisan beliau atl: tamba'laulung/seorang pejuang..jawara dr timur......dan bajeng dlm kenangan...dan msh byk ..lagi...
BalasHapusSenang membaca tulisan ini.
BalasHapusAda pantun yang indah, halus dan bersahaja membawa kita kembali ke masa lalu, masa dimana moyang kita memegang teguh prinsip adat dan budaya yang tinggi.
Orangn zaman dulu dih, ndaklangsung bicara tapi melalui lantunan nyanyian. Itu pun tidak silassungang. Kalo sekarang deh, anak bisa mengirim WA kepada orang tuanya.
BalasHapusMasya Allah, karya tulis kakeknya Ul indah sekali.
BalasHapusPantas aja Ul juga jago nulis. Rupanya memang ada bakat turunan.
Kusukanya kalau ada orang yang mau mengabadikan karya-karya muatan lokal, soalnya susah sekali sekarang, apalagi anak milenia, duh bisa nalupami bahkan mereka tidak tahumi karakter daerahnya.
BalasHapusWah ternyata kakeknya kak Ul seorang penulis ya. Keren nih, tulisan beliau tentang jeneberang ini bagus, saya larut membacanya jadi penasaran dengan tanggapan raja saat mengetahui makna syair yang didendangkan sang putri.
BalasHapus